1

Rédempteur (part 3)

Bab II

Pacarnya Thea


“Aku ngelakuin itu sama dia, aku nggak tau kenapa…”


Semakin aku sibuk dengan tugas-tugasku, semakin sibuk Thea dengan Ruri, Velita, Lanny, dan Denise. Walaupun akhir-akhir ini Denise dan Lanny sudah jarang pergi bersama, karena Denise sebentar lagi menikah, dan Lanny akan segera sidang skripsi, setelah itu dia kembali ke Lombok.

Aku sadar kalau semakin jauh dengan Thea, dia terbawa Ruri yang selalu ikut dengan Velita pergi dugem tiap minggu, aku juga diajak tapi selain sibuk tugas uang juga menipis kalau terus-terusan ikut mereka, karena lebih banyak habis membeli bahan-bahan untuk tugas karya. Mereka sudah jarang pergi ke Restricted, sekarang mereka pindah ke Sonar Pulse sebuah klub baru yang lebih luas dan lebih keren. Pengawasanku jadi berkurang, aku merasa kehilangan kendali atas Thea. Beberapa kali kuingatkan supaya lebih fokus untuk kuliah juga, karena kulihat dia beberapa kali membolos kuliah gara-gara ngantuk.

Yang aku sebal dia mulai berdandan yang aneh-aneh, kadang dia memakai rok mini ke kampus. Bayangkan Thea dengan rok mini, bahkan di alam mimpiku pun tidak pernah muncul Thea dengan rok mini. Aku merasa kecolongan, merasa harga diriku menguap, karena Thea sahabatku sudah dinodai dunia. Thea adalah milik aku, semakin marah aku pada Thea semakin marah aku pada diriku sendiri.

Obsesi kurus mulai menjamur, Ruri mengajak Velita dan Thea aerobik bersama, tapi Velita cuma datang sekali saja sudah sakit semua badannya gara-gara kaku. Ruri dan Thea masih berjuang tapi Ruri nggak bisa menyetop nafsu makannya, jadi badannya nggak berubah banyak.

Thea yang sudah berubah banyak, badannya tambah kurus banyak dan lebih kencang, dietnya sangat ketat. Tapi matanya mencekung, lingkaran hitam menghiasi wajahnya, dan dia nggak pernah lupa pakai eyeliner walaupun sering melupakan bedak. Rasanya seperti melihat Corpse Bride karena kulitnya kan putih banget… Aku bolak-balik memarahinya supaya ingat merawat diri sendiri, tapi aku seperti anjing kalah ketika dia bilang “Memangnya kamu siapa? Kamu sendiri juga berantakan kok!”

Kecanduannya pada rokok terkuak begitu cepat ketika aku mengendus rambutnya pagi hari ketika kami sama-sama ada kuliah jam 8 pagi. Aku tahu persis kalau malamnya dia tidak pergi ke Sonar Pulse tidak ada alasan kenapa dia berbau rokok, “Kamu merokok?” tanyaku singkat, “Kayak kamu nggak aja.” Jawabannya singkat, padat, dan jelas. “Hey, aku bukan mau menasehatimu karena aku memang bukan contoh yang baik, tapi sebagai teman aku sudah mengingatkan kan? Sejak kapan kamu merokok?” aku separuh terkejut dan tidak percaya sebenarnya waktu tahu dia bisa-bisanya mulai merokok tanpa aku mengetahuinya, bahkan Ruri tidak mengatakan padaku! Belakangan aku tahu waktu mabuk dia dikerjai Denise dan Velita untuk mengisap rokok milik Denise, walaupun hanya mengisap dengan cara yang salah, waktu sadar Thea mencoba lagi dan entah kenapa dia memaksa diri untuk merokok?

Waktu Thea diam saja sambil mengendikan bahu dan kembali ke ponselnya untuk bersmsan, aku mencium bau-bau cowok, seperti apa pun bau itu aku tahu. Semakin mempercantik diri, merawat badan, lebih gencar berbelanja baju atau sepatu baru, dan sering memegang ponsel ketimbang berinteraksi dengan manusia di sebelahnya... Memang ada gejala yang lebih jelas? Atau virus sok seksi Ruri menular seperti virus flu??

“Sebenarnya kamu ada masalah apa? Apa ada masalah di rumah?” kesannya memang mendesak sih, tapi apa boleh buat aku sangat curiga ada apa-apa di rumah Thea, yah kondisi rumah tangganya.

Thea tertawa, “Apa sih? Nggak ada masalah apa-apa kok. Ah, paling ini sih, aku ada satu mata kuliah yang nyebellliiin banget, sampe aku nggak bisa lulus-lulus, Bapaknya itu loh, gayanya sok banget padahal cuma mata kuliah umum tapi kenapa sih…” terus dia mengoceh panjang lebar, gara-gara di awal semester sudah ditegur pakai sandal high heels ke kelas setelah itu Dosennya menganggap dia suka mencari gara-gara. Terus terang dari gaya ngocehnya itu saja sudah menyebalkan, dia sudah mirip separuh Velita dan separuh Ruri, bahkan aku melihat sedikit Gita disitu yang omong-omong sebentar lagi mau datang. Hanya saja keadaan yang mulai buruk menjadi benar-benar buruk setelah Gita datang membawa cowok-cowoknya.

“Haiiiii….. How are you guys!!!” teriak Gita begitu muncul dari lift hotel, kami bertemu dengan Gita di hotel tempat dia menginap dan sudah memesankan sebuah kamar tambahan untuk Ruri, Thea, dan aku di akhir pekan. Dandanannya juga se-lebay teriakannya di lobby, scarf motif zebra yang lebar, cardigan besar berwarna hijau muda, t-shirt abu-abu, dan legging hitam bergaris-garis putih, aksesoris kalung dari kayu, anting-anting bulat besar, sunglasses merk GUCCI, dan angkle boot coklat. Oya, tas boho merk Burberry tersampir di pundaknya.

“Oh… My… God…” Gita mengucapkan dengan nada yang super lebay menurutku, tapi setiap jeda dia memang seolah-olah meresapi momen yang dramatis itu. “THEA! Kamu kurus banget, girl! You look soooo good!! Wah, gila, gila, gila… Keren abis!” Sumpah rasanya aku mendengar logat Cinta Laura dari suara Gita, seolah-olah dia hanya menirukan gayanya, tau lah kayak nggak benar-benar pernah ke Amerika.
“Eh, Ruri! Nggak banyak berubah ya, tetep gembrot aja!” Gita lalu menyamarkan sindiran blak-blakannya dengan tawa yang menurutku gagal untuk menutupi hal itu. Ruri cuma tersenyum kecut, rasanya dia juga mau membalas tapi tidak bisa karena penampilan Gita jelas lebih keren menurut dia.

Gita lalu memeluk dan mencium kedua pipiku sambil menanyakan kabarku, tentu saja aku baik-baik saja. Lalu dibelakang Gita ada beberapa cowok, dua orang saudara Gita yang sebelum berkenalan sudah pamitan mau balik ke kantor soalnya ninggal kerjaan. Jadi masih ada 3 orang lagi, yang satunya blasteran Amrik namanya Jared, pacarnya Gita. Yang dua lagi ada Andre dan Reagan, kalau tidak salah Andre seumuran kami waktu itu berumur 20 tahun, kalau Reagan hanya setahun lebih tua.

Ruri langsung pasang ancang-ancang untuk menebar pesona pada Andre dan Reagan, padahal aku tahu pasti dia baru berjalan satu bulan dengan pacar yang entah ke berapanya itu. “Hai! Aku Ruri, kalian temennya Gita waktu di Amrik?”

“Oh, nggak, aku temen saudaranya Gita yang pergi duluan tadi, namaku Andre.” Andre wajahnya kayak Ariel, ex-vokalis band Peterpan, tapi jelas lebih keren Ariel sih. Andre gayanya santai, kaos oblong Billabong dan celana ¾ cowok dan sandal kulit. Dia menang memiliki bodi yang bagus, setidaknya dia pasti pergi ke gym seminggu 2-3 kali, senyumnya simpatik dan matanya ramah. Setidaknya waktu pertama kali kami bertemu kesannya seperti itu.

“Guys, kenalin nih pacar aku, Jared, don’t you think he’s cute??” begitu Gita bilang “cute” sampai bibirnya nyonyor langsung nyosor gitu aja ke pipi Jared yang ketawa-ketawa konyol. Keduanya pasti udah tidur bareng, dan jangan-jangan mengisap ganja bareng juga karena tampang mereka kayak orang separuh teler. Kelak kalau mereka menikah dan punya anak kasihan banget anaknya kalau sampai cuma menuruni IQ jongkok dan bertampang bloon.

“Terus ini temen aku, kakak kelasku ini baeeekkk banget. Dia sekarang ambil S2 di universitas kalian loh, pernah lihat nggak? Dunia itu sempit ya?” Gita nyerocos dengan nada sok Amerika gitu bikin telingaku tambah gatel.

“Hai, namaku Reagan.” Reagan nih cowok yang sopan banget dan pertama ketemu dia itu pendiam, heran kok bisa ya dia berteman dengan Gita yang kayak burung botak berkicau terus. Reagan tipe cowok kurus tinggi dan dia memakai kacamata. Oh, merknya Oakley. Pakaiannya rapi abis, kemeja slimfit warna biru tua garis-garis biru muda dan lengannya dilipat sampai siku. Jam tangannya Alexander Christie dengan kaca dari batu safir, cincin emas melingkar di jari telunjuk kirinya, dan sepatu Converse… Ada yang nggak nyadar kalau orang ini pasti asyik, kalau aku kenal dia duluan sebelum pacarku mungkin aku mempertimbangkannya sebagai gebetan.

Kami pergi ke mall dibagi menjadi dua kelompok naik mobil Jared dan Andre. Gita, Reagan, dan Ruri naik mobil Jared. Thea dan aku naik mobil Andre. Sepanjang perjalanan Thea dan Andre sering ngobrol, aku kadang-kadang ikut menimpali dan aku juga minta izin merokok di dalam mobil yang diizinkan Andre. Dia sendiri juga merokok ternyata, dan membuka jendela mobil supaya asap rokok kami bisa keluar. Anehnya Thea sama sekali tidak tergerak untuk merokok bersama kami, dia jaim banget.
Di mobil yang satunya, kayaknya ada yang stress diganggu Ruri, Reagan. Gita mengirim bbm padaku,

“Eh, Ruri lama-lama tambah ganjen abis deh, ak gak bs brenti ngakak tau! Reagan tuh barusan putus sama pacarnya, asli ak tau bnr seleranya dia kek ap, yg jls Ruri tuh uda di blacklist! :D :D :D”

Di mall kami nongkrong di Starbucks, setelah memesan minuman, akhirnya Gita cerita kalau dia kembali ke Indonesia untuk bertunangan dengan Jared, setelah mereka menikah nanti akan tinggal di Amerika karena Jared dan keluarganya memiliki bisnis rumah makan yang ramai di China Town. Gita tidak henti-hentinya bercerita tentang rencana-rencana pernikahannya, bahkan sampai aku pun jadi lengah dan tidak sadar kalau Thea sering diajak ngobrol dan bercanda dengan Andre.

Ruri bolak-balik salting sendiri pingin tebar pesona tapi sayangnya diantara kedua cowok itu tidak ada yang tertarik padanya, malah aku menangkap Jared kadang-kadang melirik ke dada Ruri yang saat ini sedang mengenakan tanktop v-neck. Akhirnya dia sebel sendiri, tapi yang lebih sinting, abis dia sadar Jared ngelirik dadanya malah balas mengedip ke Jared.

Akhirnya Gita meminta kami saling bertukar nomor ponsel dan pin Blackberry, setelah itu kami pergi ke Sushi Tei untuk makan siang bareng, yang rasanya lucu karena Reagan cenderung dekat denganku untuk menghindari serangan-serangan Ruri, Thea dekat dengan Andre dan sepertinya ada sesuatu diantara mereka, Ruri malah mendekat pada Jared sekedar ada yang bisa diajak flirting, dan Gita tidak menyadari itu lebih banyak ngoceh daripada memperhatikan Jared yang menanggapi pandangan menggoda Ruri sambil senyum-senyum bloon. Tiba-tiba ponselku berbunyi, itu Daniel pacarku, dia memberiku kejutan dengan menjemputku di mall dan ingin bertemu denganku jadi aku terpaksa meninggalkan mereka, karena Daniel datang dari jauh aku nggak mau dia bertemu dengan Ruri, bisa jengkel mampus aku.

Setelah pertemuan kami itu selama beberapa hari yang singkat, aku tidak menyangka ada yang aneh dengan Thea, dia sepertinya sedikit lebih ceria daripada biasanya. Aku sendiri sibuk dengan tugas kuliahku lagi yang semakin lama semakin menguras tenaga, setelah itu aku jadi sering bertemu dengan Reagan dia setahun lebih tua dari kami dan bisa segera berteman dengan akrab, tapi tampaknya yang mengganggu pikiran Thea sekaligus membuatnya ceria akhir-akhir ini bukan cowok ini.

Suatu hari Andre datang membawakan bunga untuk Thea, dan mereka pergi bersama. Mereka sering pergi bersama, satu-satunya yang positif dari hal ini cuma berkurangnya intensitas Thea pergi ke Sonar Pulse dengan Ruri dan Velita. Apalagi Velita sedang sibuk dengan pacar barunya, tinggal Ruri sendiri yang biasanya mengajak aku pergi, tapi aku nggak mau soalnya males banget Ruri tambah lama tambah kacau aja, aku pernah mendapati dia memasukan cowok ke dalam kamar. Waktu aku tanya ngapain masukin cowok ke kamar, dia bilang komputernya rusak jadi minta dibetulin sama temen, bullshit! Kalau benerin komputer ngapain pintunya ditutup selama 2 jam?

Pada hari pernikahan Denise kami semua datang, Thea mengajak Andre, bahkan anak SD sudah bisa nebak kalau mereka sudah pacaran. “Astaga, Thea akhirnyaaa… Hahahaha…” Beberapa orang langsung berkomentar, dan serentak mereka mendorong mereka untuk berciuman, “Ayo! Cium! Cium! Cium! Cium! Cium...” Tiba-tiba Andre mencium Thea tepat di bibirnya, langsung semuanya berteriak histeris. Sejak saat itu semuanya benar-benar sudah terlepas dari tanganku, Thea.

***

(bersambung ke Rédempteur II/2
0

Rédempteur (part 2)

Thea melenggang masuk ke dalam kamarku, sedangkan aku sedang berganti baju jadi kaget, “Kalau pakai baju ini gimana?” Thea mematutkan diri di depan cermin besar di kamarku, dia pakai blus merah, celana jins hitam, dan sepatu flat. Aku sih diam aja, “Nggak apa-apa sih, bagus juga.” Walaupun dalam hati aku cuma bilang, biarin aja deh, yang penting dia nggak pake baju aneh-aneh. Kalau tidak salah aku memakai singlet hitam, legging hitam, dan sepatu high heels ku yang baru. Aku selalu tidak lupa untuk membawa kartu identitas dan sejumlah uang sekedar berjaga-jaga.

“Tunggu aku dong!” Ruri berlari turun dan kami bertiga pergi ke kos Velita, kami malam itu berencana untuk pergi ke pub yang sering dikunjungi anak-anak muda, Restricted. Denise dan Velita sedang berdandan sedangkan Lanny sudah siap menunggu kami bertiga, dia santai saja mengenakan tanktop satin warna ungu dipadukan celana jins ketat biru tua model pensil dan sandal berhak rendah. “Yo, sudah siap?”

Ruri tampak bersemangat, kalau kulihat dandanan paling amburadul ya dia itu, entah kenapa dia mengenakan minidress warna pink dengan belahan dada rendah, dan eyeliner seperti sari burung gagak mati dibubuhkan tebal-tebal ke situ. Thea tampak kaget lalu bimbang seolah dandanannya ada yang salah, aku menggandeng tangannya kemudian kami tertawa-tawa setelah kubilang dandanan Ruri yang amburadul itu.

Akhirnya Denise dan Velita sudah siap, Denise memakai cocktail dress yang sebenarnya gak jauh beda dengan gaun tidur satinnya. Sedangkan Velita sepertinya memakai rok mini milik adiknya, tahu kan cuma menutupi celana dalam, untung dia masih mengenakan legging hitam sobek-sobek. Aku jadi ingat sendiri ketika pertama kali pergi ke pub rasanya heboh banget, tapi nyatanya sekarang aku sudah merasa bosan dengan dresscode tak tertulis yang seolah-olah menyuruh cewek-cewek berdandan super seksi dan minim untuk ke pub. Kita kan cuma having fun, ngapain dandan-dandan kayak cewek-cewek kegatelan minta diraba-raba.

Mobil Kijang Lanny melaju ke Restricted yang lokasinya di pub underground sebuah hotel bintang 4. Disitu banyak anak-anak kuliahan juga yang ternyata satu universitas dengan kami, ternyata mahasiswa-mahasiswa universitasku memang sengaja nongkrong disitu tiap minggu, apalagi kalau hari Senin atau Rabu uang masuknya hanya 50% dari harga biasanya jadi kalau tidak cepat-cepat datang, pasti jam 10 sudah penuh.

Kami berhasil masuk sekitar jam 11, dan lantai dansa sudah penuh dengan orang-orang separuh mabuk yang berdansa mengikuti irama musik sampai yang bergerak tidak jelas. Apa ada yang menggunakan narkoba? Aku tidak mau tahu. Welcome drink kami masing-masing mendapat segelas besar bir, dan tempat-tempat yang dituju oleh anak-anak justru bukan tempat VIP di lantai II, kami lebih suka nongkrong-nongkrong di lantai bawah dan duduk di meja-meja yang berada di pinggir lantai dansa.

Thea melihat sekeliling sambil duduk memegangi tas tangannya, dan satu tangannya meletakan segelas besar bir dingin yang masih berbusa hingga menetes keluar dari mulut gelas. Dia melihat sekelilingnya, ada beberapa kelompok seperti segerombolan cewek-cewek berdandan seksi dan tampak glam, gerombolan cowok-cowok mengenakan kemeja slimfit menampakkan dadanya, atau rombongan anak-anak berpakaian ala hip-hop, bahkan ada cewek yang sepertinya teler berdansa bersama pasangannya yang juga mabuk tapi masih setengah sadar kebingungan ingin mengajak ceweknya untuk berhenti berdansa karena sudah bolak-balik hampir jatuh.

“Welcome to nightmare The, kayak gini-gini aja pub itu, aku saranin jangan sampai mabuk lhoh, ingat kamu pergi untuk bersenang-senang bukan untuk mabuk-mabukan seperti orang gila.” Aku menyalakan rokokku dan menyesap sedikit bir, Thea mengangguk-angguk dia juga minum sedikit tiba-tiba wajahnya mengkerut. “Astaga, rasanya agak aneh ya?” begitu komentarnya setelah menelan satu teguk bir. Aku tertawa melihatnya, dia memang sangat polos, tapi aku kenapa tidak menghentikannya pergi kemari ya? Aku pikir dia harus tahu, hanya sekedar tahu supaya dia tidak terjerumus terlalu dalam dengan gaya bersenang-senang cara seperti ini. Tapi aku yang tidak tahu kalau tidak mungkin aku bisa memantaunya setiap waktu, sekali meleng dia bisa tiba-tiba melarikan diri.

Ruri sudah mulai dansa-dansa dengan centil bersama Velita di sebelah meja penuh cowok, Denise ternyata bertemu dengan teman-temannya yang lain dan tunangannya. Hanya Thea, Lanny dan aku yang masih duduk-duduk di meja sambil merokok dan ngobrol sedikit-sedikit. Susah sekali untuk ngobrol dengan suara musik sangat keras, hanya saja tiba-tiba ada separuh botol Martell Cognac dari meja sebelah, mereka memberi isyarat berbagi dengan kami, cowok-cowok yang aku dan Thea tidak kenal, tetapi sepertinya Lanny dan Denise sudah mulai akrab.

“Ayo, ayo, diminum dong, nggak apa-apa kok!” Denise berteriak keras di meja kami, dia membagi-bagikan gelas kecil yang diisi seperempat gelas, kemudian ditambahkan Coca Cola. Velita dan Ruri kembali waktu jeda diisi oleh DJ, mereka langsung disodori minuman sama Denise, “Jangan banyak-banyak yah, buat coba-coba aja dulu!” kata Denise mengedipkan sebelah matanya lalu membawa dua gelas ke tempat tunangannya. Ruri langsung meminum habis satu gelas, Velita minum sedikit-sedikit, mereka tampak berkeringat dan tertawa-tawa sambil berjoged kecil-kecil. Tangan Thea ditarik oleh Velita terus mereka mengajaknya berdansa kecil ditempat, sedikit demi sedikit dia mulai menikmati hentakan-hentakan bas yang memukul dada dan musik trance yang cepat.

Aku mengamati sambil meneguk beberapa gelas minuman, dan memperhatikan Lanny hanya meminum bir itu saja nggak habis-habis. “Aku nggak boleh mabuk dong, nanti yang nyetir mobil siapa?” begitu jawabnya sederhana, tapi aku baru menyadari ternyata orang ini nggak sejelek yang aku kira. Tiba-tiba Thea meminum satu gelas… Dua gelas… Tiga gelas… Bersama Ruri dan Velita kembali ke lantai dansa setiap habis minum, berjoged ketika band menyanyikan lagu dari Agnes Monica – Temperature terus berlanjut ke lagu Lady Gaga – Poker Face.

Wajah polosnya yang mulai mabuk sesekali tersorot kamera dan tampil di layar besar di atas panggung, Thea tersenyum dan pipinya yang kemerahan tampak menonjol dengan blus warna merahnya, seperti anak kecil bermain di kolam bola. Di layar itu aku melihat sekelilingnya yang suram seperti ikut bersemangat melihat anak itu melompat-lompat dan menggerakan badan seenaknya mengikuti musik sambil sesekali ikut menyanyikan lirik yang dia hapal.

Velita tampak setengah teler dan aku yakin dalam hitungan menit dia akan terjatuh, kalau tidak ada yang menyanggahnya pasti dia akan terbaring terinjak-injak.
Ruri sudah kehabisan nafas tapi masih berusaha tampak seksi walaupun tali Victoria Secret-nya sudah lunglai dari pundaknya yang gempal.

Lanny masih cuek merokok sambil ngobrol-ngobrol dengan cowok dari meja sebelah yang sudah mulai sesekali meraba lututnya.

Denise tampaknya sudah high gara-gara ekstasi? Entahlah, dia tampak misterius dengan wajah kemerahan karena mabuk dan matanya yang jelas-jelas tidak fokus bergelanyut di pelukan tunangannya yang mengajaknya pergi dari situ.

Jam sudah merangkak menuju angka 2, aku tahu kalau mereka tidak bisa bertahan sampai dini hari. Harusnya waktu itu kami segera pulang… Karena pertengahan lagu berikutnya Velita ambruk dan berakhir dengan muntah-muntah di toilet.

* * *

end I/2

(bersambung ke II/1)
0

Rédempteur (part 1)

Bab I

Awal yang Salah


“Emangnya film porno itu seperti apa sih?”


Kalau masyarakat Barat selalu berkata usia 13 tahun adalah usia ABG labil terutama anak-anak cewek, setidaknya di dalam film sih begitu, tetapi di negaraku ini anak masih bau kencur saja dinikahi oleh bapak-bapak tua beristri dua. Intinya sih anak-anak remaja di Indonesia memang sangat kompleks, dan bagi Thea Calista usia awal 20-an tahun adalah masa-masa labilnya yang kelam.

Pertama kali dia memakai high-heels, merokok, mabuk berat, hangover, dan akhirnya muntah-muntah di kamarku semuanya ketika dia beranjak usia 20. Pertama kalinya dia melakukan seks tak lama setelah dia berulang tahun ke 20, dan beberapa bulan berikutnya pertama kalinya dipukul cowok dan nyaris bunuh diri. Aku tahu semua itu karena aku berada di sana, dipaksa untuk tidak bisa berbuat apa-apa dengan kelakuannya, mungkin aku ini contoh gagal seorang sahabat.

Aku sudah lama tidak bertemu dengan dia, terakhir aku lihat dia sedang berada di rumah sakit terkena demam berdarah. Padahal keluarga kami dekat karena berasal dari kota yang sama, kalau liburan kami juga sering pulang bareng naik kereta atau pesawat. Tetapi aku memang sudah kehilangan kontak sejak Thea keluar dari rumah sakit, yang kudengar hanya rumor-rumor dan rumor. Di Surabaya siapa yang tidak mengenal Thea? Lucunya orang tua Thea sama sekali tidak tahu kelakuan Thea yang semakin lama semakin sulit diatur, warga kota asal kami sendiri kayaknya juga ada selentingan gossip tapi entahlah kenapa orang tuanya begitu acuh. Penuh dengan penyangkalan dan selalu mencari kambing hitam untuk menutup kebobrokan anaknya sendiri.

Kota asal kami tidak kecil tidak besar, tetapi semua orang tahu kalau keluarga Thea adalah perusahaan properti terbesar dan otomatis orang terkaya di kota. Ketika semua anak masih bermain petak umpet atau congklak, Thea sudah dibelikan sebuah Super Nintendo. Ketika semua anak belajar mengetik dengan mesin ketik, Thea sudah punya komputer windows. Ketika orangtua teman-teman Thea punya ponsel, Thea sudah punya ponsel pribadi. Awalnya bertemu Thea itu gara-gara satu SD sama dia, walaupun selalu mendapatkan apa pun lebih dulu bukan berarti menjadikannya populer, apalagi kalau bilang penampilan? Dia kayaknya puber aja telat.

Thea Calista berbeda denganku, walaupun keluargaku tidak sekaya keluarga Thea, sejak SMP aku sudah disekolahkan di kota besar. Kehidupan di kota besar tidak selamban di kota yang lebih kecil. Walaupun masa-masa puberku lebih brutal, tetapi kita kan sedang membicarakan Thea bukan aku, ya kan? Thea dan aku kembali bertemu di SMU, tentu saja aku merasa senang, tapi teman-temanku menganggap Thea udik. Wah, apa boleh buat, teman-temanku ini memang asli korban mode abis, dan tentu saja ini pendapatku pribadi mereka suka sekali membanggakan cowok-cowok baru mereka dan menjadi drama queen ketika mereka putus.

Gita Kusuma berambut ikal berwarna agak kemerahan karena diam-diam disemir tanpa diketahui pihak sekolah, caranya memakai seragam seolah-olah seperti akan pergi ke mall. Dia sepertinya memakai hampir semua aksesoris terbarunya untuk ke sekolah dan kadang-kadang sepatu ankle boots dipakai ke sekolah, roknya sangat pendek dan jauh dari lutut yang seharusnya seragam sekolah sarankan, blusnya dibuat agak ketat dan dia suka melepas 2 kancing baju teratasnya dengan alasan kepanasan.

Guru-guru sampai capek menegur, bahkan sudah melayangkan surat panggilan orang tua tetapi tidak pernah ada yang datang. Aku berani taruhan pihak sekolah tidak menegur walaupun orangtua Gita tidak datang karena orangtuanya yang sangat super sibuk menangani perusahaan air minum kemasan dan mamanya yang doyan belanja serta ngerumpi bersama teman-teman seklubnya itu, memberikan sumbangan untuk sekolah yang cukup besar. Tetapi itu juga menjadi jawaban setelah beberapa waktu aku sudah tidak naïf lagi, Gita yang super bego dan nggak suka sekolah, bahkan lebih sering curi-curi waktu untuk ber-smsan dengan cowoknya yang sudah kuliah, selalu naik kelas dengan ranking yang jauh dari juru kunci tetapi juga tidak masuk 10 besar. Rahasianya? Uang “sumbangan” dan tentu saja kunci jawaban yang dia beli.

Ruri Aubrecia pesolek ulung, dia selalu membanggakan barang-barangnya yang bermerk sampai ke benda paling sepele sekalipun seperti kuku palsu. Tambahkan juga bra Victoria Secret berukuran D yang selalu dia banggain, “Kan kalian golongan kain katun. Gue dong Victoria Secret!”. Mungkin dia sendiri juga nggak sadar, kalau dia selalu patah hati hampir tiap bulan, dan dalam waktu seminggu sudah dapat pacar baru yang mau menjadi pacarnya karena payudaranya yang besar. Kalau dipikir-pikir hampir semua anak cowok di sekolah pasti paling tidak sudah pernah satu kali saja merasakan apa yang berada di balik Victoria Secret cup D itu. Anggap saja Gita dan Ruri memang bukan teman terbaik yang seharusnya aku bergaul, tetapi percayalah mereka masih memiliki rasa setia kawan, dan waktu itu aku tidak merasa kalau mengenalkan Thea pada mereka adalah langkah awal dari kesalahan walaupun tidak sepenuhnya.

Dibandingkan dengan teman-teman SMU-ku yang seperti itu, Thea yang dulu tampilannya jauh dari modis, bahkan dia nyaris tidak pernah mengenakan make up. Mubazir banget kan? Tubuhnya segar berisi, kukunya tidak pernah dipoles dengan cat kuku, rok sekolahnya walaupun seperti karung menutupi dua lututnya dengan rapi. Aku juga masih ingat kenapa aku sampai sekarang ingin sekali melindunginya, seperti dia adalah saudaraku sendiri. Thea memiliki mata yang cemerlang menampakan kecerdasannya, dan bila dia tersenyum rasanya memberikan daya tarik bagi orang lain untuk ikut merasakan keramahan yang sangat polos. Bahkan aku berpikir kalau dia sedih rasanya kita pun juga ingin menangis

Jadi saat itu aku merasa jatuh hati padanya, bukan berarti aku ini lesbian, karena kutemukan sesuatu yang kuanggap langka di dunia ini. Kejujuran dari polah, tingkah laku, dan kata-kata Thea semuanya mengingatkan aku pada masa kanak-kanak ketika tidak ada kemunafikan.

Selama SMU setidaknya Gita dan Ruri berhasil membuat Thea jadi peduli penampilan sedikit, dia berani berdandan dan berkenalan dengan cowok. Walaupun nggak pernah mendapat pacar, atau lebih tepatnya Thea merasa takut untuk berpacaran. Tapi syukurlah dia nggak takut sama bedak compact dan lip gloss. Pelahan-lahan kecantikan Thea mulai muncul karena wajahnya jadi lebih bersih dan terawat, dia nggak perlu make up tebal-tebal untuk menutupi noda-noda di muka toh wajahnya memang tidak ada bekas jerawat, malah mirip kulit bayi.

Kalau kebodohan itu nular rasanya nggak mungkin, tapi gara-gara Gita kadang-kadang Thea jadi malas, padahal aku yakin kalau Gita emang IQ-nya jongkok, tapi Thea itu kan pinter dia sering dapat rangking paling tidak 10 besar. Ruri dilain sisi tampang pas-pasan, otak pas-pasan, lebih suka bercerita tentang hal-hal dramatis yang terjadi antara dia dan cowok-cowoknya, ternyata belajar juga walaupun setengah mati kayaknya hanya supaya naik kelas.

Gita dikuliahkan di Amerika, sedangkan aku, Thea, dan Ruri masuk ke sebuah Universitas ternama di Surabaya, walaupun beda jurusan kami bertiga berada di kos yang sama. Jadwalku sangat padat karena jurusan Desain Komunikasi Visual pada awal-awal semester penuh tugas dan jadwal studio, biasanya Thea, Ruri, dan aku makan malam bareng. Cuma Ruri sepertinya sudah berhasil menggaet cowok baru lagi dari jurusan Elektro, jadi mungkin dia akan mengulang rutinitas selama SMU di Universitas. Thea jadi sering kesepian di kos, kurasa dia juga mendapat teman-teman baru di jurusannya Ilmu Komunikasi, kurasa dia ada sedikit kesulitan untuk bergaul dengan gaya hidup teman-temannya.

Ternyata masalah jurusan di masa kuliah, atau tepatnya di Universitasku, kamu bisa menebak-nebak kok anak-anak mana dari jurusan mana. Kalau mau cewek atau cowok yang super modis tinggal jelalatan aja di jurusannya Ruri, jurusan Ekonomi. Cewek dan cowok berseragam berarti mereka anak perhotelan, kalau pakaiannya agak ketinggalan jaman bisa dipastikan antara jurusan bahasa atau tehnik, sedangkan pakaian yang bermerk tapi penampilannya pada kusut biasanya anak-anak seni dan desain, tapi jurusan yang terkenal dengan cewek-cewek cakepnya ada di jurusan Ilmu Komunikasi dan Psikologi.

Kalau dari kakak-kakak kelasnya saja sudah seperti itu, jadi bisa dilihatkan dampaknya ke anak-anak baru? Apalagi jurusan Thea di Ilmu Komunikasi cewek-ceweknya rame, lincah-lincah, dan sangat modis sepertinya Thea jadi minder. Aku ingat, Thea tiba-tiba menuju kamarku untuk meminjam pakaianku ketika aku diam-diam merokok.

“Mel, aku mau pinjam pakaian dulu dong, aku nggak punya kemeja bagus buat kuliah siang ini.” Dia langsung ngeluyur tanpa sadar kamarku bau asap rokok, baru akhirnya dia menoleh sambil menutup mulutnya, “AH! Kok ternyata kamu merokok sih???” dan terpaksa aku bilang padanya kalau aku nggak pencandu kok, jarang-jarang aja merokoknya terutama kalau lagi stress sama tugas-tugas kuliah. Dia percaya sih, tapi sepertinya aku memang tidak memerhatikan kalau dia juga memerhatikan dengan penuh rasa ingin tahu pada bungkus rokok yang tergeletak di atas mejaku.

“Kamu jangan ikut-ikutan ah. Aku sendiri ingin berhenti kok, padahal aku ngerasa belum kecanduan, tapi kalau lagi pingin ya beli juga akhirnya.” Alasan. Apa boleh buat aku memang selalu berjanji pada diriku untuk berhenti menghisap asap sialan itu tapi selalu gagal. Kemudian aku membantu-bantu dia memilihkan baju yang cukup di badannya, yah, secara aku memang lebih kurus.

“Kamu jadi kurus gara-gara mengganti makan dengan rokok ya?” Ok, itu pertanyaan yang kupikir konyol yang pernah ku dengar dari mulut Thea, “Aku pernah baca kalau model-model yang ingin kurus atau artis yang sedang diet mengganti makan dengan rokok.” Dia ngoceh seolah-olah menemukan jalan keluar untuk cepat kurus, dan kayaknya kok ide itu tertanam entah dari belahan Negara mana gitu? Kayaknya Thea terlalu sering menonton film-film atau membaca majalah gosip artis luar yang biasanya memakai heroin atau kokain, merokok seperti kereta api, dan hanya minum Red Bull supaya badannya berenergi. Dia pikir merokok tidak memiliki dampak besar kalau ingin berdiet, maksudnya tidak sebesar heroin atau kokain, toh mana mungkin bisa mendapatkannya dengan mudah seperti artis-artis luar negeri.

“Dengar ya, tidak ada hubungannya antara nafsu makan dan rokok, kalau namanya nafsu makan besar tetep aja makannya banyak. Itu sih namanya pelarian diri karena nggak bisa makan, kan mereka sedang memaksakan diri untuk diet padahal sudah kurus.” Jelasku sambil memberikan 2 setelan kemejaku untuk dicoba. Aku sendiri curiga, apa jangan-jangan dia mulai diet? Karena aku jarang melihatnya, kurasa dia sudah mulai kurusan

Teman-teman baru Thea sepertinya sedikit banyak juga memberi pengaruh padanya. Di kos seberang, teman-teman Thea yang baru berada. Denise adalah pekerja bank swasta, aslinya berasal dari Lombok, cewek penampilan galak, kurus kecil, kulitnya putih, dia suka mengenakan gaun tidur satin yang seksi waktu di kos. Sayang sekali dadanya kecil jadinya gaun tidur itu jadi nggak kelihatan bagus dipakai sama dia. Yang aku ingat dari dia adalah alisnya yang dicukur habis dan digambar dengan pena alis berwarna coklat seperti warna rambutnya yang dicat pirang coklat. Bayangkan saja kalau kamu melihatnya di pagi hari atau setelah mandi di malam hari. Thea sudah pernah lihat, dan dia bilang sulit sekali untuk menghapus ingatan itu, jadi kalau aku sudah mengalami cuci otak mungkin aku masih trauma melihat sesuatu yang tampak bulat polos sama seperti yang dia bilang padaku.

Kemudian ada Velita yang satu jurusan sama Thea, anaknya suka bersikap manis dan centil yang rasanya dibuat-buat, rambutnya panjang dicat merah marun, kulitnya sedikit lebih muda dari sawo matang, terlalu gelap untuk seorang keturunan China. Apalagi giginya agak tonggos, tubuhnya kurus kecil tapi perutnya agak buncit. Ruri langsung bisa cocok dengan Velita, apalagi kalau sudah ngomongin cowok mereka bisa curhat-curhatan sampai lama banget. Aslinya orang desa tuh, dari kota kecil sampai kalau dibilang kota aja juga nggak bisa, cuma dia adaptasinya cepet banget, begitu sampe kota besar gini langsung permak abis-abisan.

Ditambah satu lagi, Lanny, dia juga dari Lombok, masih kuliah semester 7 dan membawa mobil sendiri di kos. Tampangnya sih biasa saja, malah agak tomboy kurasa dia pribadi yang menyenangkan tapi caranya dia ngomong kadang-kadang aku nggak paham gara-gara logatnya.

Baru dua kali Thea, Ruri, dan aku kongkow di sana, Velita tiba-tiba bertanya blak-blakan, “Emangnya film porno itu seperti apa sih?” pertanyaan ini langsung disambut ketawa sama Denise, Lanny, dan Ruri. Thea terpekik lalu melihat padaku sambil menampakan wajah kaget tapi penasarannya itu, aku cuma tersenyum saja dan dalam hati bertanya-tanya apa Velita memang sepolos itu? Yang jelas aku tahu kalau Thea belum pernah melihat hal-hal seperti itu, jangankan berciuman pegangan tangan saja belum pernah.

“Kamu beneran belum pernah lihat?” pancing Ruri sambil tersenyum nakal, “Waduh gawat dong?” lalu tertawa-tawa sok tahu sambil melihat Denise yang berdiri lalu masuk ke kamar, dan keluar sambil membawa satu keping dvd polos.
“Nah ini nih, film kesukaanku, udah lihat aja yuk. Kepalang tanggung, sekalian lah kan sudah ada yang nanya.” Sambil memasukkan dvd ke player dia mengambil asbak di sebelah TV lalu menyalakan rokoknya dan duduk kembali ke sofa.

Aku bisa melihat kalau Thea dan Velita jadi grogi dan agak malu-malu, Lanny memukul pundak Denise sambil senyum-senyum geli, “Ah, ngawur lu, gila aja sore-sore gini pasang bokep!” Aku tidak pernah benar-benar tertarik dengan film porno seperti itu, jadi kupikir itu tidak merusak asal mereka masih berakal sehat saja, terutama yang aku khawatirkan Thea.

Beberapa adegan sudah dilalap habis sambil melongo oleh Velita dan Thea yang sekali-sekali merasa terjijik-jijik, dan anehnya justru si Ruri yang jadi nggak bisa diam dan mukanya kemerahan. Denise malah seperti narator yang sekali-kali menjelaskan cerita dari adegan-adegan tersebut. Lanny nggak begitu tertarik dia lebih konsentrasi dengan ponselnya, sms-an dengan pacarnya mungkin? Setelah selesai melihat sepertinya mereka cukup shock.

“Gila… Apa hubungan seks manusia itu seperti itu sih? Aku kok malah jadi merinding gitu…” Thea membuka bicara ketika kami bertiga balik ke kos malam-malam sambil bawa nasi bungkus untuk dimakan.

“Ih… udah deh, itu pengetahuan tahu, biar nanti kalau kmu udah punya suami tahu harus ngapain.” Ruri tergelak-gelak sampai badannya berguncang, dalam hatiku aku punya firasat kalau Ruri kayaknya nggak bakal betah nunggu sampai punya suami, aku nggak akan kaget kalau tiba-tiba beredar video porno dengan tokoh utama Ruri dan cowok tak dikenal. Bukannya aku jahat, justru aku sudah mewanti-wanti Ruri supaya hati-hati sama cowok soalnya dia gampang banget ngasih segalanya sama pacar yang umurnya nggak pernah lebih dari sebulan, rekor terlama aja 3 bulan.

“Udahlah, nggak usah dibahas. Seks itu kalau kamu memang nantinya sudah rumah tangga. Lagian aku pikir ngelihat film porno kayak gitu cukup jadi tahu aja. Jangan sekali-kali memberikan apa pun sama cowokmu kalau kalian belum ada ikatan perkawinan. Mereka itu kalau sudah dikasih hati sedikit aja langsung ngelunjak.” Wah, kayaknya bijaksana banget deh aku waktu itu, Thea langsung mengangguk-angguk setuju, dan Ruri cuma balas ketawa-tawa...

end I/1

(bersambung ke I/2)
0

Hi... :)

Hello, ini blog ku yang sengaja aku buat khusus untuk cerita bersambung. Please enjoy, kritik dan saran sangat berarti :)

Thanks a lot!

- amelia -
 
Copyright © Amelia Hoo Historiae